Powered By Blogger

Sabtu, 29 Mei 2010

Hindu: Nikah Siri NO, Poligami OK


SEBAGAI suatu istilah, apa yang disebut nikah siri sesungguhnya tidak dikenal, tidak ada dan tidak pernah terjadi di kalangan masyarakat Hindu. Namun, jika hanya mengacu pada substansi nikah siri bahwa seorang pria itu bisa dan dapat melangsungkan perkawinan ke dua, ke tiga, dan seterusnya, maka soal yang satu ini bukanlah sebagai sesuatu yang aneh lagi, apalagi dianggap soleh bin nyleneh. Praktik perkawinan model nikah siri itu sudah umum dan bahkan termuat di dalam beberapa pustaka, seperti halnya kitab Slokantara. Di dalam kitab ini, disebutkan bahwa dharma itu seyogianya didengarkan mereka yang ingin mengetahui arti dan maksud hidup manusia. Dan, di antara manusia yang mau mendengarkan dharma, tidak ada yang melebihi brahmana. Yang dimaksud brahmana di sini adalah orang yang dapat menguasai dan menjalankan ke-brahmacari-an.
Tentang brahmacari, disebutkan ada tiga macam, yaitu suklabrahmacari yang artinya tidak kawin seumur hidup, lantaran sepenuh hidup dan kehidupannya diabdikan untuk peningkatan kualitas jnana, tattwa, dharma, sradha dan bhakti. Lalu sawalabrahmacari yang berarti memasuki masa grahasta (berumah tangga/berkeluarga) dengan hanya melakukan perkawinan sekali saja seumur hidupnya, meski misalnya ditinggal mati istrinya (monogami). Satu lagi, krsnabrahmacari, yang identik dengan nikah siri karena memberikan jalan dan peluang bagi seorang suami untuk mencari istri lagi (poligami), yang di dalam terminologi sosiologis masyarakat Hindu (Bali) lazim disebut ngamaduin (memadu). Hanya saja, terdapat perbedaan perbuatan hukum yang terjadi antara nikah siri dan krsnabrahmacari.

Kalau nikah siri, sebagaimana lumrah terjadi dan dilakukan kalangan umat muslim merupakan bentuk perkawinan dengan cara “di bawah tangan”, sehingga tidak mendapatkan kekuatan dan kepastian hukum, meski secara agama “direstui”. Namun, pada model perkawinan krsnabrahmacari, subtansi pasal 3, 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, menjadi landasan bagi berlangsungnya suatu perkawinan “ke sekian kali”, sebagaimana sudah berjalan di kalangan masyarakat Hindu (Bali). Syarat dimaksud adalah harus mendapatkan izin dari pengadilan, setelah mengajukan permohonan dengan terlebih dahulu dapat memenuhi persyaratan, seperti : (a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, (b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan (c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Lebih lanjut juga dipersyaratkan, seorang suami yang hendak melakukan perkawinan lagi, hendaknya dapat memenuhi syarat-syarat penguat lainnya, seperti : (a) mendapat persetujuan dari istri/istri sebelumnya, (b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan istri-istri dan anak-anak mereka, (c) dan yang tak kalah penting, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Dalam praktiknya, jangankan izin pengadilan, memperoleh izin dari istri sebelumnya saja amat sulit didapat, lantaran para wanita ‘normal’ yang tak ingin berbagi suami rata-rata memunyai semboyan universal, “aku tak mau jikalau aku dimadu”, sekalipun keadaan-keadaan yang dialami istri seperti disebutkan tadi benar adanya. Sebab, untuk urusan memadu ini tak dapat dimungkiri, acapkali terjadi sang suami mau menikmati madunya saja, sementara sang istri (selaku madu) justru sering dibiarkan mengecap racunnya. Apalagi, jika kemudian mulai muncul bibit-bibit ketidakcocokan atau ketidakharmonisan antara suami dan istri-istrinya dan juga anak-anak mereka, maka dalam bentuk perkawinan nikah siri, yang memang sejak awal tidak sah secara hukum, akan mudah sekali mahligai rumah tangga itu menjadi serpihan mutiara retak dan selanjutnya hancur berantakan, tak terkecuali menyangkut nasib kelangsungan rumah tangganya serta kehidupan anak-anak mereka yang telanjur hidup dalam bahtera keluarga yang tidak diperkuat landasan dan payung hukum negara.

Karena itu kitab Manusmrti III.42 telah menyuratkan sekaligus mensyaratkan bahwa sebuah hubungan antara seorang lelaki dewasa dan seorang perempuan dewasa untuk dapat disebut sebagai pasangan suami-istri haruslah melalui proses perkawinan, sehingga menjadi terpuji semuanya, baik perkawinannya maupun keturunan yang dilahirkan kemudian. Selengkapnya dinyatakan: “dari perkawinan yang terpuji putra-putri terpujilah lahirnya dan dari pekawinan tercela lahir keturunan tercela, karena itu hendaknya dihindari bentuk-bentuk perkawinan tercela”. Perkawinan terpuji yang dmaksud adalah suatu bentuk perkawinan yang sah, baik secara religis (ritual-spiritual), sosiologis (adat-budaya), maupun secara yuridis (legal-formal). Di luar tata cara perkawinan terpuji dimaksud, akan menjadi tercela akibatnya, baik berlangsungnya acara perkawinan maupun anak-anak yang dilahirkannya.

Berangkat dari konsep perkawinan menurut tata cara Hindu tersebut, apa yang disebut dengan nikah siri, selain memang tidak dkenal di dalam masyarakat Hindu (Bali), juga tidak dapat dibenarkan. Bukan tidak benar dalam arti tidak boleh beristri lebih dari satu, tetapi lebih kepada tata caranya yang tergolong perkawinan “di bawah tangan” yang sama artinya dengan tidak sah, baik di hadapan hukum adat, hukum Negara, maupun hukum agama (Hindu). Karena itu menanggapi tentang nikah siri, Hindu menganut prinsip Nikah Siri NO, tetapi Poligami OK, alias sah-sah saja sepanjang mengikuti aturan yang telah dipersyaratkan.
sumber: www.cybertokoh.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar