Peringatan empat tahun semburan lumpur Lapindo tahun ini berlangsung di tanggul kolam lumpur Siring. Berbagai agenda digelar, seperti orasi, teatrikal, hingga pelemparan gambar Aburizal Bakrie oleh warga.
Acara itu dimulai sekitar pukul 09.00. Warga dari berbagai desa yang menjadi korban lumpur turut hadir. Mereka juga membawa spanduk yang bertulis tuntutan penyelesaian jual beli atas tanah dan bangunannya. Yakni, penyelesaian dengan skema 20 persen : 80 persen.
Aksi diawali dengan teatrikal yang dipersembahkan Komunitas Taring Padi. Teatrikal itu menampilkan pengorbanan korban lumpur untuk mendapatkan haknya. Yaitu, pembayaran atas lahan dan bangunan yang lenyap karena lumpur. Teatrikal itu mengingatkan kenangan dan perjuangan warga yang belum tuntas sejak empat tahun lalu.
Seusai menyaksikan teatrikal, ratusan warga pawai menaiki tanggul. Mereka berjalan sambil membawa replika Aburizal Bakrie alias Ical. Poster itu merupakan simbol seseorang yang memicu terjadinya semburan lumpur.
Selain poster, ada replika naga dan gurita yang dipikul warga mengelilingi tanggul. Replika naga itu diibaratkan asap lumpur dari semburan lumpur. Sedangkan gurita merupakan karakter lumpur yang mengalir hingga ke mana-mana.
Setelah berjalan-jalan, ratusan warga melempari replika Ical. Kemudian, replika itu dilemparkan ke kolam lumpur. Aksi tersebut merupakan bentuk kekesalan warga terhadap pucuk pimpinan Partai Golkar tersebut.
Ketua Komunitas Taring Padi Muhammad Yusuf mengatakan, aksi yang disuguhkan itu merupakan sindiran. Terutama kepada Lapindo Brantas Inc agar menyelesaikan tanggung jawabnya. "Banyak warga yang belum mendapatkan haknya. Apa yang kami tampilkan merupakan gambaran kenyataan yang terjadi," ujarnya.
Dia mendesak agar Ical bisa bercermin diri. Di balik kepopuleran yang dia raih, terdapat ribuan warga dengan nasib memprihatinkan. Hidupnya terkatung-katung menanti keinginan yang belum terpenuhi. "Yakni, pembayaran atas tanah dan bangunan mereka," tegas Muhammad.
Keprihatinan itu tidak hanya dirasakan warga yang rumahnya terendam lumpur, tapi juga mereka yang terkena dampak lumpur. Seperti Aminah, 50, warga Kelurahan Siring Barat, Kecamatan Porong. Dia mengaku kenyamanan hidupnya hilang. "Di rumah saya terdapat gas yang mudah terbakar," katanya.
Nasibnya lebih malang karena tanah dan bangunannya tidak dibeli Lapindo Brantas Inc. Mereka hanya menerima bantuan sosial dari pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). "Sedangkan rumah, statusnya tidak jelas," ujarnya lirih.
Selain banyak gas, dinding rumahnya mulai retak-retak. Sewaktu-waktu dinding itu bisa roboh. "Jika roboh, saya tidak punya rumah lagi," ungkapnya.
Empat tahun semburan lumpur, banyak peristiwa terjadi. Baik dari aspek budaya, ekonomi maupun politik. Aspek budaya diwujudkan dengan hilangnya legenda beberapa desa. Seperti Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Renokenongo, Kecamatan Porong, serta beberapa desa lain.
Kemudian dari aspek ekonomi, Jalan Raya Porong sering macet. Lalu lintas terhambat, sekaligus mengganggu distribusi barang. Akibatnya, banyak perusahaan yang merugi. Semua itu belum termasuk pencitraan Sidoarjo sebagai kota lumpur. Imbasnya, banyak investor yang ragu-ragu masuk ke Sidoarjo.
sumber: http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=64785
Tidak ada komentar:
Posting Komentar